Minggu, 10 Oktober 2010

Pentingnya Kearifan Lokal untuk Mereduksi Anarkisme

Pentingnya Kearifan Lokal untuk Mereduksi Anarkisme
Minggu, 10 Oktober 2010 - 08:23 wib

Nofri Hasanudin. (Foto : Dok pribadi)

“Kita kaya dengan kearifan lokal dan ternyata kerukunan beragama selama ini terjaga dengan kearifan lokal itu.” (Atho Mudzhar, Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI)

Belakangan ini, gejolak sosial antarumat beragama cukup menyita perhatian masyarakat Indonesia. Kejadian ini sangat tidak mencerminkan rasa ke-Indonesiaan kita yang dikenal sebagai bangsa majemuk yang ramah tamah dan menjunjung tinggi keharmonian antara satu dengan yang lain.

Nyatanya, gejolak sosial yang terjadi saat ini karena pudarnya kearifan lokal sehingga konflik kecil yang terjadi dapat tumbuh menjadi masalah yang besar yang dapat mengundang anarkisme dan kekerasan.

Dari kutipan di atas, pengertian dari kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka.

Kearifan lokal dalam kehidupan beragama adalah bagaimana pandangan kita dalam beraktivitas untuk saling menghormati dan menghargai pandangan setiap individu untuk memeluk kepercayaan mereka masing-masing tanpa adanya paksaan dan ancaman.

Kearifan lokal ini berimplikasi pada kokohnya hubungan yang lebih harmonis antar umat beragama sehingga kearifan lokal harus dipelihara guna terjalin rasa kesatuan dan persaudaraan antar umat beragama yang berimbas pada kokohnya rasa nasionalisme bangsa.

Ada tiga cara untuk memperkuat kearifan lokal guna memperkuat kerukunan antar umat beragama.

Pertama, menghilangkan sikap prejudis dan stereotipe untuk menjaga harmonisasi antar umat beragama. Sikap tersebut seringkali mengeneralisasi sebagai sebuah penilaian akhir yang tidak dilandasi dengan bukti-bukti terlebih dahulu. Pada masyarakat multikultural sangat mudah tumbuh sikap prejudis dan streotipe. Untuk itu, kita berharap pemerintah khususnya Departemen Agama untuk mengaktifkan Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) sebagai salah satu cara untuk membangun keharmonisan, misalnya dengan mengaktifkan dialog kebudayaan pemuda lintas agama sehingga peran negara disini sebagai fasilitator antar golongan bukan sebagai badan yang memfasilitasi dalam hal fisik saja.

Kedua, yaitu dengan membangun pendidikan multikultural sebagai wahana sentral dalam relasi simbiosis mutualis antar budaya. Pendidikan kebudayaan diberikan sebagai pembinaan generasi muda. Cara ini guna mentransfer ilmu pengetahuan, ketrampilan dan nilai dengan menawarkan alternatif melalui penerapan strategi dan pendidikan yang berbasis keragaman. Tujuannya bukan hanya untuk memahami pelajaran, tetapi untuk meningkatkan kesadaran mereka agar dapat berperilaku humanis, pluralis dan demokratis.

Ketiga, yaitu menanamkan nilai mendahulukan kepentingan bersama dibandingkan kepentingan pribadi dan golongan. Rasa kebersamaan dan kebangsaan akan terpelihara dan terbina dengan baik bila kepentingan bersama lebih didahulukan dibandingkan kepentingan pribadi atau golongan. Nilai-nilai ini sebagai bentuk sikap bangsa yang menjunjung tinggi nilai persatuan dan kesatuan.

Ketiga hal di atas merupakan metode yang ampuh untuk memperkokoh kearifan lokal yang telah pudah demi menjaga kerukunan antar umat beragama sehingga berimplikasi pada kokohnya persatuan dan kesatuan bangsa.

Nofri Hasanudin
Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Indonesia
Peserta PPSDMS Regional 1 Jakarta
(//rhs)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar