Minggu, 10 Oktober 2010

Meminimalisasi Kekerasan

Senin, 11 Oktober 2010 - 10:36 wib

Image: corbis.com

SEMAKIN lama, masyarakat semakin brutal dalam menanggapi persoalan. Masalah yang kecil sering dibesar-besarkan sehingga bentrok atau perkelahian sering terjadi.

Saat ini yang sedang marak adalah kekerasan yang dilakukan oleh massa (banyak orang atau sekelompok orang). Perlu dicurigai apa motif di balik kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang ini. Apakah benar kekecewaan kepada suatu lembaga atau ada tindakan provokatif di balik semua ini? Kekerasan yang terjadi sering dipicu oleh dua faktor yaitu etnis dan agama. Hal ini wajar untuk negara demokrasi seperti Indonesia karena kita mempunyai enam agama resmi dan berbagai macam suku bangsa dari Sabang sampai Merauke. Kekerasan yang menyangkut etnis atau agama ini mudah sekali dikompori. Namun kita juga tak dapat menyalahkan masyarakat karena mereka yang bentrok adalah mereka yang berpendidikan rendah.

Adapun beberapa upaya yang dapat dilakukan sebagai solusi masalah kekerasan massa ini di antaranya dengan peningkatan kualitas pendidikan, membuka lapangan pekerjaan, penegakan hukum, dan peran media massa. Pertama, upaya peningkatan aspek pendidikan. Masyarakat Indonesia sedang mengalami patologi sosial yang amat kronis. Bahkan sebagian besar pelajar dan masyarakat kita tercabut dari peradaban ketimuran yang beradab, santun dan beragama. Di samping itu pendidikan yang diberikan hanyalah untuk meningkatkan intelligence quotient (IQ) sementara emotional quotient (EQ) dan spiritual quotient (SQ) tergadai. Oleh sebab itu, eksistensi SQ harus terintegrasi dalam target peningkatan IQ dan EQ siswa.

Dengan menanamkan SQ dan EQ, kita dapat menekan masalah sosial dan masalah-masalah yang timbul di Indonesia. Pendidikan diperlukan bukan hanya untuk menjadikan generasi Indonesia pintar, tetapi yang paling penting adalah untuk menanamkan moral. Kedua, membuka lapangan pekerjaan. Dengan membuka lapangan pekerjaan kemiskinan dapat teratasi. Bila masyarakat kita tidak miskin, pastilah rakyat tidak berpikiran “apapun akan kulakukan demi uang”. Tanpa kita sadari, kemiskinan sering dimanfaatkan oleh elite politik untuk mengadu domba. Ketiga, mendorong penegakan hukum dan peran media massa.Lemahnya penegakan hukum dan pertikaian elite bangsa yang seringkali ditayangkan di media massa menjadi pemicu kekerasan.

Kekecewaan masyarakat juga berasal dari penegakan hukum yang seperti kincir angin. Ke mana angin bertiup, ke situlah arah kincir berputar. Penegakan hukum di negara kita masih sangat lemah. Contohnya saja kasus terpidana korupsi, di mana banyak pidana korupsi yang diberikan grasi dari presiden. Padahal presiden sendiri mengatakan tidak ada ampun untuk korupsi. Teori Kultivasi yang dicetuskan oleh G Gerbner mengatakan bahwa televisi merupakan suatu kekuatan yang secara dominan yang dapat memengaruhi masyarakat modern. Jadi apa yang mereka lihat di televisi, yang cenderung banyak menyajikan acara kekerasan adalah apa yang mereka yakini terjadi juga dalam kehidupan sehari-hari.

Akibatnya, muncullah masyarakat yang memilih melibatkan diri dengan kekerasan dan masyarakat yang apatis dengan kemampuan hukum dan aparat yang ada dalam mengatasi berbagai tindakan kekerasan. Di sinilah peran media massa untuk kontrol sosial dan menanamkan nilai-nilai moral kepada masyarakat. Pada akhirnya, kerja sama dari berbagai pihak sangat dibutuhkan untuk menekan kekerasan massa ini. Baik dari pemerintah, media massa, maupun masyarakat sendiri.(*)

Suci Amelia Harlen
Mahasiswa Jurnalistik Fikom Universitas Padjadjaran(//rhs)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar