Minggu, 10 Oktober 2010

Berbangsa Nirkekerasan

Selasa, 5 Oktober 2010 - 13:06 wib

Image: corbis.com

BEBERAPA hari ini media tak henti-hentinya menyoroti berbagai tindak kekerasan baik berlatar agama maupun etnis. Tercatat selama dua bulan berlalu (Agustus dan September 2010) sudah terhitung tujuh kali aksi kekerasan terjadi.

Sebut saja insiden Ampera (29/8), perampokan di CIMB Niaga Medan (18/8), penyerangan bersenjata di Polsek Hamparan, Perak, Sumatera Utara (22/9), sampai aksi kekerasan antaretnis di Tarakan, Kalimantan Timur (28/8). Fenomena kekerasan kini menjadi budaya baru bagi bangsa Indonesia. Aksi premanisme, brutalisme, sadisme, dan banalisme selalu memenuhi ruang publik.

Fenomena ini seolah menggambarkan rendahnya moralitas bangsa. Tak pelak aksi-aksi kekerasan yang kian terjadi ini menjadi pusat perhatian dari banyak kalangan. Padahal, dahulu para pendiri (founding fathers) negeri ini membangun bangsa ini dengan semangat budaya bangsa Timur yang berkarakter toleran, sopan santun, dan selalu menyikapi persoalan dengan jalan dialog.

Semangat tersebut yang kemudian menjadikan bangsa ini banyak dikenal di dunia Internasional sebagai bangsa yang berperadaban dan berkesatuan. Keberagaman suku, agama, budaya, dan etnis tidak bisa dijadikan alasan timbulnya kekerasan di bumi pertiwi ini. Keberagaman tersebut adalah keniscayaan yang harus disyukuri dan disikapi oleh bangsa Indonesia dengan jalan yang manusiawi.

Dan sebaliknya tidak menjadikan keberagaman itu momok yang dapat menghancurkan persatuan dan kesatuan bangsa ini. Fenomena kebrutalan yang tengah terjadi akhir-akhir ini lebih ditengarai oleh lemahnya sistem pemerintahan yang tidak cepat tanggap dengan persoalan kebangsaan. Lumpuhnya penegakan hukum dan tidak terakomodasinya pemenuhan HAM mengakibatkan kekuatan aparat mampu dilawan dan ditentang oleh masyarakat sipil biasa.

Sebagai negara yang multikultural, Indonesia mempunyai modal sosial yang besar bagi terbentuknya nilai-nilai berbangsa nirkekerasan. Karena masyarakat negeri ini mempunyai semangat sosial tinggi sebagai negara yang berkesatuan. Melalui sikap gotong-royong, saling menghormati, toleransi dalam segala perbedaan, dan mengutamakan jalan dialog dalam menyelesaikan segala persoalan.

Maka melalui kesederhanaan sikap seperti inilah wujud berbangsa yang tidak cinta terhadap aksi-aksi kekerasan ini terbentuk. Namun, modal atau semangat sosial yang tinggi dari bangsa ini tidaklah cukup untuk menuju kesempurnaan berbangsa nirkekerasan jika negara mengalami kelumpuhan menjalankan sistem pemerintahan yang bijak. Dalam hal ini, hendaknya pemerintah perlu melakukan beberapa tindakan progresif.

Di antaranya dengan membangun kembali sistem keamanan dan pertahanan yang lebih kuat, memberikan tempat bagi perlindungan hukum dan HAM, menegakkan demokrasi, dan mengakomodasi segala keberagaman mulai etnis, suku, budaya, dan agama. Kini, berbangsa nirkekerasan adalah “lompatan kuantum” yang merefleksikan terbentuknya peradaban tinggi dalam lanskap berbangsa dan bernegara.

Karena saat ini masyarakat sedang terhegemoni oleh tradisi kekerasan yang dianggap sebagai metode resolusi baru dalam menangani konflik. Maka jika semangat sosial telah terbangun dan sistem pemerintahan yang kuat telah tercipta tidak mustahil jika bangsa ini akan mengalami “lompatan kuantum” yang tinggi sebagai bangsa yang berperadaban. Karena sejatinya jika manusia mengetahui fungsi utamanya menjalani hidup bermasyarakat, ia akan selalu menebar benih kesalehan sosial.(*)

Nafi’ Muthohirin
Mahasiswa Agama & Studi Perdamaian
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta(//rhs)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar