Minggu, 10 Oktober 2010

Berbangsa Nirkekerasan

Selasa, 5 Oktober 2010 - 13:06 wib

Image: corbis.com

BEBERAPA hari ini media tak henti-hentinya menyoroti berbagai tindak kekerasan baik berlatar agama maupun etnis. Tercatat selama dua bulan berlalu (Agustus dan September 2010) sudah terhitung tujuh kali aksi kekerasan terjadi.

Sebut saja insiden Ampera (29/8), perampokan di CIMB Niaga Medan (18/8), penyerangan bersenjata di Polsek Hamparan, Perak, Sumatera Utara (22/9), sampai aksi kekerasan antaretnis di Tarakan, Kalimantan Timur (28/8). Fenomena kekerasan kini menjadi budaya baru bagi bangsa Indonesia. Aksi premanisme, brutalisme, sadisme, dan banalisme selalu memenuhi ruang publik.

Fenomena ini seolah menggambarkan rendahnya moralitas bangsa. Tak pelak aksi-aksi kekerasan yang kian terjadi ini menjadi pusat perhatian dari banyak kalangan. Padahal, dahulu para pendiri (founding fathers) negeri ini membangun bangsa ini dengan semangat budaya bangsa Timur yang berkarakter toleran, sopan santun, dan selalu menyikapi persoalan dengan jalan dialog.

Semangat tersebut yang kemudian menjadikan bangsa ini banyak dikenal di dunia Internasional sebagai bangsa yang berperadaban dan berkesatuan. Keberagaman suku, agama, budaya, dan etnis tidak bisa dijadikan alasan timbulnya kekerasan di bumi pertiwi ini. Keberagaman tersebut adalah keniscayaan yang harus disyukuri dan disikapi oleh bangsa Indonesia dengan jalan yang manusiawi.

Dan sebaliknya tidak menjadikan keberagaman itu momok yang dapat menghancurkan persatuan dan kesatuan bangsa ini. Fenomena kebrutalan yang tengah terjadi akhir-akhir ini lebih ditengarai oleh lemahnya sistem pemerintahan yang tidak cepat tanggap dengan persoalan kebangsaan. Lumpuhnya penegakan hukum dan tidak terakomodasinya pemenuhan HAM mengakibatkan kekuatan aparat mampu dilawan dan ditentang oleh masyarakat sipil biasa.

Sebagai negara yang multikultural, Indonesia mempunyai modal sosial yang besar bagi terbentuknya nilai-nilai berbangsa nirkekerasan. Karena masyarakat negeri ini mempunyai semangat sosial tinggi sebagai negara yang berkesatuan. Melalui sikap gotong-royong, saling menghormati, toleransi dalam segala perbedaan, dan mengutamakan jalan dialog dalam menyelesaikan segala persoalan.

Maka melalui kesederhanaan sikap seperti inilah wujud berbangsa yang tidak cinta terhadap aksi-aksi kekerasan ini terbentuk. Namun, modal atau semangat sosial yang tinggi dari bangsa ini tidaklah cukup untuk menuju kesempurnaan berbangsa nirkekerasan jika negara mengalami kelumpuhan menjalankan sistem pemerintahan yang bijak. Dalam hal ini, hendaknya pemerintah perlu melakukan beberapa tindakan progresif.

Di antaranya dengan membangun kembali sistem keamanan dan pertahanan yang lebih kuat, memberikan tempat bagi perlindungan hukum dan HAM, menegakkan demokrasi, dan mengakomodasi segala keberagaman mulai etnis, suku, budaya, dan agama. Kini, berbangsa nirkekerasan adalah “lompatan kuantum” yang merefleksikan terbentuknya peradaban tinggi dalam lanskap berbangsa dan bernegara.

Karena saat ini masyarakat sedang terhegemoni oleh tradisi kekerasan yang dianggap sebagai metode resolusi baru dalam menangani konflik. Maka jika semangat sosial telah terbangun dan sistem pemerintahan yang kuat telah tercipta tidak mustahil jika bangsa ini akan mengalami “lompatan kuantum” yang tinggi sebagai bangsa yang berperadaban. Karena sejatinya jika manusia mengetahui fungsi utamanya menjalani hidup bermasyarakat, ia akan selalu menebar benih kesalehan sosial.(*)

Nafi’ Muthohirin
Mahasiswa Agama & Studi Perdamaian
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta(//rhs)

Budaya Mencari Kambing Hitam

Selasa, 5 Oktober 2010 - 16:59 wib

Image: corbis.com

MARAKNYA kekerasan massa yang terjadi akhir-akhir ini berdampak pada kondisi psikis masyarakat tentang suatu keamanan di negara kita. Kita telah menyaksikan beberapa berita kekerasan massa di Tarakan, bahkan di Jakarta, dan sebagainya, yang dapat mengganggu keresahan masyarakat yang bermukim di sekitarnya.

Kekerasan sepertinya merupakan cara paling efektif untuk menyelesaikan masalah di negeri ini. Kekerasan di dunia kerja, akademik, dan masyarakat, merupakan bukti bahwa premanisme adalah budaya masyarakat demi menjadi paling hebat, bahkan penguasa. Sikap yang tidak mau mengalah ini menyebabkan susah dicarinya suatu titik temu masalah dengan cara damai.

Dengan memuaskan ego dan tidak melihat sudut pandang yang berbeda akan menghancurkan suatu kebijaksanaan. Demi memenuhi semua hak yang harus diperoleh, mereka rela melakukan apa pun untuk mendapatkannya. Padahal suatu kewajiban yang seharusnya dipenuhi selalu dilupakan: Kita hidup di masyarakat yang heterogen dan seharusnya kita hidup berdampingan. Masyarakat kita memang belum bisa menghormati sesuatu seperti perbedaan pendapat dan perselisihan.

Meskipun kita hidup di masyarakat heterogen, kita harus punya prinsip dalam masyarakat, yaitu bagaimana kita harus bisa hidup di kondisi yang plural seperti ini. Ini merupakan prinsip agar kondisi masyarakat yang ditinggalinya bisa stabil dan setiap ada konflik dapat diselesaikan dengan damai. Jika suatu konflik tak dapat diselesaikan dengan damai, biarlah pemerintah dan lembaga hukum yang menanganinya. Kita harus menghargai itu meskipun tidak adil.

Ketidakadilan pemerintah dalam menyelesaikan suatu kasus menjadi pemicu suatu pertikaian massa. Suatu keadilan ditinjau dari segi sosiologis memang bersifat nisbi. Akan tetapi, kitalah yang selalu ingin menang dan sulit menerima kekalahan adalah bukti kita menganggap suatu keadilan menjadi suatu yang mutlak dalam kehidupan bermasyarakat. Jadi, hukum yang sebenarnya yang telah disepakati adalah jalan keluar untuk semua masalah ini. Penegakan hukum yang tegas harus dijalankan dengan benar.

Karena hukum dan pandangan sosiologis sangat sulit dicari titik temunya. Ditinjau dari segi sosiologis, penyebab terjadinya suatu kekerasan massa adalah kekecewaan masyarakat dan perlakuan tidak adil aparat di lapangan. Aparat di lapangan tidak melakukan tugasnya secara tepat, tetapi kekurangtegasan dalam pengambilan keputusan adalah salah satu faktornya.

Kemudian aparat mencari kambing hitam dalam suatu konflik tersebut agar semua masalah bisa teratasi yaitu kelompok paling kecil dari suatu massa. Kelompok kecil tersebut dijadikan pihak yang bersalah atas semuanya sehingga kekecewaan kelompok kecil akan melakukan suatu balas dendam dengan penuntutan kepada aparat dan kelompok besar secara anarki.

Menyelesaikan masalah massa dengan cara mencari kambing hitam merupakan tindakan yang dapat merusak kondisi stabilitas heterogenisasi. Dalam prinsip dalam diri, kita harus bisa menanamkan kepercayaan dan bermoral. Karena penyimpangan, pelanggaran hukum, dan kejahatan, semuanya berasal dari baik buruknya moral kita terhadap kepercayaan dan masyarakat.(*)

Hardiat Dani Satria
Mahasiswa Departemen Kriminologi,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI(//rhs)

Memutus Akar Anarkisme Massa

Rabu, 6 Oktober 2010 - 17:19 wib

Foto: dok. pribadi

PEMBAHASAN mengenai kekerasan mengemuka kembali. Seperti biasa latah kekerasan di negeri ini kerap muncul secara bersamaan atau muncul secara periodik. Kemunculan kekerasan di negeri ini juga dipicu oleh berbagai hal, mulai dari urusan kacangan sampai masalah yang ‘berat’.

Membincangkan kekerasan di negeri ini mungkin dirasa ganjil atau sumbang jika harus dihadapkan pada identitas sebagai bangsa yang konon peramah, gotong royong, dan cinta damai. Identitas tersebut kini tergadai dan entah kapan kita bisa menebusnya kembali.

Kekerasan harus dienyahkan dari peta sosiologis manusia Indonesia. Pelaksanaan di lapangan guna mengenyahkan kekerasan tersebut rasanya terlalu rumit dan kerap menggunakan pendekatan yang represif. Padahal melenyapkan kekerasan dengan metode ‘kekerasan’ juga akan tentunya melahirkan produk kekerasan baru yang lebih massif.

Kekerasan antar-etnis dengan sikap primordial kesukuan yang tak kunjung tamat dari republik ini bisa dijadikan parameter bahwa pendidikan karakter kebangsaan dengan wawasan nusantara masih jauh panggang dari api. Kedua etnis sama-sama menggunakan sindrom chauvinisme yakni mengunggulkan entitasnya sendiri dan meremehkan entitas lainnya. .

Kekerasan antar umat beragama juga menimpa bangsa ini. Persoalan beda pemahaman dan keyakinan kemudian ditambah dengan lemahnya semangat toleransi menjadikan ini semua seperti sumbu yang siap disulut kapan saja. Kalau memang kekerasan acapkali disangkutpautkan dengan penafsiran keagamaan maka imbasnya nama baik agama sendirilah yang menjadi korbannya. Agama yang sejatinya ramah dan penuh kedamaian dihadirkan dalam bingkai tumpahan darah.

Kekerasan juga bisa diakibatkan oleh persoalan ‘perut’ (ekonomi). Ketika fenomena yang miskin semakin miskin dan kaya semakin kaya, pemerataan ekonomi berjalan seret, harga komoditas pangan melambung tinggi, ketidakpastian penegakan hukum serta keadilan sosial yang menjadi prinsip bangsa ini jaraknya seperti bumi dan langit, maka kekerasan model ini (rakyat berontak) akan teramat mudah tercipta.

Peran Pemerintah

Kontrol negara mengatasi anarkisme massa yang bersifat represif dan biasanya dengan model mempertemukan kedua belah pihak yang bertikai, dalam satu meja memang langkah tepat untuk jangka pendek. Namun, tak cuma itu. Memutus akar kekerasan secara sistematis dan berkelanjutan adalah hal yang penting. Untuk itulah dibutuhkan langkah-langkah konkret yang sifatnya jangka panjang guna meredam anarkisme massa tersebut.

Kekerasan antar-etnis kiranya dapat diredam dengan memberikan pendidikan wawasan kebangsaan di institusi-institusi pendidikan, LSM-LSM serta media massa. Tujuannya adalah terciptanya perasaan saling memiliki terhadap bangsa ini dalam menjaga keutuhan NKRI.

Kekerasan yang melibatkan agama bisa diatasi dengan jalan membuka pintu dialog sebanyak-banyaknya antar pemeluk agama yang difasilitasi oleh negara. Ini semua bertujuan agar tercipta sikap saling toleran satu sama lain.

Kekerasan karena urusan ‘perut’ juga mestinya bisa redam oleh pemerintah dengan usaha pemerataan ekonomi, penyediaan lapangan kerja berbasis padat karya, dan penegakan hukum tanpa pandang bulu.

Kalau negara masih saja meredam anarkisme massa dengan hanya melakukan pendekatan jangka pendek saja, maka disintegrasi bangsa menjadi taruhannya. Mau?


Muhammad Itsbatun Najih
Mahasiswa Fakultas Adab & Ilmu Budaya
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
(//rhs)

Kekerasan Bukan Budaya Kita

Kamis, 7 Oktober 2010 - 12:02 wib

Image: corbis.com

KITA tentu prihatin menyaksikan serentetan aksi kekerasan yang terjadi belakangan ini di Tanah Air. Mulai dari penyerangan sekelompok orang ke Mapolsek Hamparan Perak, Sumatera Utara, kerusuhan Tarakan, bentrok di Jalan Ampera, Jakarta Selatan, ledakan bom rakitan di Duren Sawit, Jakarta Timur, hingga penyerangan massa ke perkampungan warga Ahmadiyah di Bogor.

Aksi kekerasan seolah menjadi budaya sebagian masyarakat kita. Masyarakat yang dikenal ramah, santun, toleran, dan mencintai kedamaian seolah terkebiri oleh berbagai kekerasan yang terjadi antarsesamanya sendiri. Begitulah kenyataannya, kekerasan begitu mudah meletup. Ironisnya, kekerasan terkadang dipicu oleh masalah sepele. Hal itu menjadi lebih kompleks lagi karena Indonesia terdiri atas berbagai ragam suku dan ras sehingga sekali waktu terjadi gesekan yang mengakibatkan perselisihan.

Jika perselisihan tersebut tidak diselesaikan segera maka akan menjadi “api dalam sekam”, dan biasanya tak berapa lama kemudian meledak menjadi ajang pertarungan antarsuku. Banyak hal yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan musyawarah namun masyarakat justru lebih suka menyelesaikan dengan kekerasan. Seolah-olah penyelesaian masalah dengan kekerasan itu menjadi candu untuk memuaskan ego masing-masing. Apa pun alasannya, tindakan kekerasan merupakan tindakan yang tidak bermoral.

Negara yang masyarakatnya memiliki budaya tinggi sangat jarang terjadi kekerasan. Kalaupun ada ,sifatnya hanya sporadis dalam skala yang sangat kecil. Masyarakat sudah dewasa untuk memilih tindakan yang benar dan salah. Kemiskinan dan tingkat pendidikan yang rendah menjadi pemicu utama berkembangnya kekerasan. Faktor lain adalah penegakan hukum yang lemah, hukum tidak diberlakukan dengan semestinya. Pemerintah memiliki peran penting dalam mencegah kekerasan yang terjadi di negeri ini.

Masyarakat sudah lelah menyaksikan beragam aksi kekerasan yang terjadi hampir setiap hari apalagi disiarkan terus menerus di media massa, terutama televisi. Pemerintah seharusnya memiliki solusi jangka pendek dan jangka panjang untuk meredam kekerasan. Untuk jangka pendek, misalnya, dengan bertindak tegas terhadap pelaku kekerasan termasuk para provokator di belakangnya.

Dalam jangka panjang, kemiskinan dan kebodohan perlu segera diberantas sembari memberikan pemahaman kepada para generasi muda akan pentingnya kerukunan dan keharmonisan hidup bermasyarakat. Begitu banyak kerugian yang diderita akibat kekerasan bukan hanya kerugian material dan nonmaterial tetapi juga kerugian psikologis berupa ketakutan dan trauma yang sulit dilupakan. Karena itu, kekerasan harus kita stop. Jangan jadikan kekerasan sebagai budaya masyarakat. Semoga.(*)

Steven Gunawan
Mahasiswa Manajemen FE
Universitas Kristen Petra Surabaya(//rhs)

Mengubah Pikiran Masyarakat mengenai Kekerasan

Kamis, 7 Oktober 2010 - 16:05 wib

SEPANJANG September 2010 ini, tercatat 24 kasus kekerasan terhadap PRT, kasus yang terkuak ini adalah jenis kekerasan berat. Diperkirakan masih banyak kasus-kasus kekerasan ringan lain yang tidak terdeteksi.

Seringnya kekerasan yang terjadi di masyarakat saat ini sangat mengkhawatirkan. Hal ini menjadi indikasi bahwa masyarakat sedang mengalami frustasi sosial. Mulai dari kekerasan intrapersonal sampai yang antaretnis. Hal ini terlihat begitu ironis dan memprihatinkan karena berita kekerasan yang beredar di media global saat ini sedang dihadapi dan dilakukan masyarakat Indonesia yang terkenal ramah, beragama, dan berbudaya.

Menilik konflik yang terjadi di Tarakan, membuat kita khawatir dan was-was karena ditakutkan konflik ini akan menyebar dan meluas apabila tidak dilakukan pengawasan dan upaya-upaya penanggulangan seperti konflik Sampit yang terjadi 10 tahun lalu. Wakil ketua DPR dari PDIP Pramono Anung menilai konflik Tarakan terjadi karena kesenjangan ekonomi. Pemerintah telah bertindak cepat dan tanggap akan konflik ini sehingga sekarang konflik Tarakan sudah mulai reda dan aktivitas sudah mulai berjalan seperti biasanya.

Kekerasan yang menjadi primadona di negeri ini adalah kekerasan dalam rumah tangga khususnya pada wanita. Tercatat mulai 2003 terjadi sebanyak 7.787 kasus dan mengalami peningkatan 180 persen sebesar 14.020 pada 2004. Dan sampai 2007 terdapat 54.425 kasus. Kekerasan ekonomi dalam rumah tangga dan kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan komunitas merupakan jenis kekerasan paling besar yang dialami oleh perempuan.

Jika kita analisa kasus kekerasan ini berdasarkan interaksi sosial yang paling intensif, dapat dipilih kasus KDRTdi dalam rumah tangga, ketegangan maupun konflik merupakan hal yang biasa terjadi. Perselisihan pendapat, perdebatan, pertengkaran, saling mengejek atau bahkan memaki juga lumrah. Tapi kesemuanya itu bukanlah serta merta disebut sebagai kekerasan dalam rumah tangga. Biasanya kekerasan dalam rumah tangga lebih ekstrim—seperti yang biasa diadegankan di sinetron-sinetron di televisi. Pelaku kekerasan memiliki kekuasaan yang lebih besar dari berbagai segi, seperti dari segi fisik, segi ekonomi, dan atau segi status sosial dalam keluarga.

Jika dilacak sebab-sebab kekerasan yang dilakukan oleh pelakunya—biasanya sang istrilah yang menjadi korban. Pertama, adanya fakta bahwa laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat. Kita telah ter-mindset bahwa lelaki berkuasa atas perempuan.

Kedua, kebudayaan kita mendorong perempuan atau istri supaya bergantung kepada suami, khususnya secara ekonomi. Hal ini membuat perempuan hampir sepenuhnya berada di bawah kuasa suami dan suami merasa berkuasa secara ekonomi khususnya.

Ketiga, masyarakat tidak menganggap KDRT sebagai persoalan sosial, tetapi persoalan pribadi suami-istri sehingga orang lain tidak boleh ikut campur. Masyarakat menganggap masalah ini sebagai masalah pribadi atau rumah tangga yang orang lain tidak layak mencampurinya

Ternyata penderitaan akibat penganiayaan dalam rumah tangga tidak terbatas kepada sang istri saja, tetapi juga menimpa anak-anak. Bagaimana bisa? Anak-anak bisa mengalami penganiayaan secara langsung atau merasakan penderitaan akibat menyaksikan penganiayaan yang dialami ibunya. Menyaksikan kekerasan merupakan pengalaman yang sangat traumatis bagi anak-anak. Mereka sering kali ketakutan dan tidak mampu berbuat sesuatu ketika sang ayah menyiksa ibunya. Hal ini ternyata berakibat sangat fatal pada perkembangan kejiwaan anak-anak. Mereka akan merasa gelisah, gugup, cemas, dan lain-lain.

Berdasarkan deklarasi penghapusan kekerasan terhadap perempuan, negara berkewajiban melindungi warganya dari serangan kekerasan, baik di lingkup publik maupun di di dalam rumah tangga. Untuk itu dipelukan jaminan hukum maupun sarana rehabilitasi guna mengatasi persoalan kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu peluang pemenuhan hak korban harus dibuka lebar dan kapasitas masyarakat dalam menyikapi kekerasan dalam rumah tangga harus diperkuat.

Febry Nanda Saputra
Mahasiswa Jurusan Statistika FMIPA
Institut Pertanian Bogor(//rhs)

Mengkritisi Peran Aparat dalam Kekerasan Massa

Kamis, 7 Oktober 2010 - 18:06 wib

Foto: dok. pribadi

KEKERASAN massa nampaknya menjadi permasalahan yang sedang hangat untuk kita bicarakan, sekaligus mencari penyebab serta solusinya. Banyak media massa baik elektronik ataupun surat kabar menjadikan kekerasan massa sebagai headline dalam berita mereka.

Tentunya masih ingat dengan aksi kekerasan massa mulai dari kasus kerusuhan makam Mbah Priuk, masalah kasus HKBP dan yang paling terkini adalah kasus kekerasan massa di Jl. Ampera Jakarta dan masih banyak aksi kekerasan massa yang lainnya baik di tingkat nasional maupun di tingkat primordial.

Hal ini tentunya menjadi permasalahan serius bagi bangsa ini, ketika bangsa ini sedang karut marut oleh keaadaan politik ataupun masalah budaya aksi kekerasan massa seolah menjadi duri tajam di tengah ranjau paku yang sedang dialami oleh bangsa ini. Kekerasan massa seolah menambah kacaunya negara ini dan menjadi bukti nyata jika rasa persatuan dan budaya kerukunan sudah mulai pudar bahkan bisa jadi sudah mulai matinya budaya kerukunan bangsa ini. Lalu sebenarnya apa yang menjadikan maraknya aksi kekerasan massa saat ini dan bagaimana dengan peran negara yang seharusnya menjadi garda depan dalam kontrol pengamanan bangsa ini?

Tentunya hal ini harus dilihat dari berbagai sudut, mulai dari politik, ekonomi, sosial dan budaya. Aksi kekerasan massa tidak hanya dapat dilihat dari satu persoalan dan satu sebab saja. Banyak faktor yang menjadikan aksi kekerasan massa sekarang ini marak dilakukan baik di tingkat nasional dengan kasus terorisme, maupun di tingkat primordial dengan kasus kekerasan massa yang bertajuk masalah suku, agama dan ras (SARA).

Hak setiap orang untuk mendapatkan perlindungan dan kedamaian saat ini nampaknya sudah semakin sulit diperoleh. Lalu di manakah kontrol negara melalui aparat kepolisannya yang seharusnya mengayomi dan melindungi masyarakat dan sebagai preventif dalam kasus kekerasan saat ini. Peran aparat negara kini semakin tidak dipercaya oleh masyarakat, polisi seolah menjadi suatu alat hagemoni pemerintah atau kalangan elit tertentu. Buktinya kita lihat dalam kasus makam Mbah Priuk dan kasus masalah penggusuran lainya yang berujung bentrok fisik, yang justru terjadi antara masyarakat dan aparat negara yang seharusnya menjadi pelerai dalam kasus ini.

Tanpa bermaksud menghilangkan peranan aparat negara, Kasus semacam ini seolah menunjukan bahwa rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap kontrol negara melalui aparatnya sudah mulai pudar. Selain seharusnya bertindak sebagai pelerai dan pencegah aksi kekerasan justru aparat terkadang menjadi aktor dalam kasus kekerasan massa ini.

Ada beberapa solusi yang bisa ditawarkan dalam kasus semacam ini diantaranya adalah dengan mengembalikan rasa kepercayaan masyarakat terhadap aparat negara, agar peranan aparat yang seharusnya menjadi pelerai dalam kasus kekerasan tidak disokong oleh kepentingan politik ataupun kaum elit lannya. Selain itu budaya kerukunan juga harus selalu ditananmkan oleh setiap orang, rasa saling menghormati dan saling menghargai harus selalu tertanam di hati setiap orang agar konflik masalah SARA tidak akan pernah kita lihat lagi. Dan perlu satu kesadaran oleh setiap orang yakni kembali pada pancasila yang mengajari kita hidup damai dan saling menghormati antarsesama. Agar bangsa ini tidak diisi oleh berita-berita kekerasan tetapi diisi oleh berita-berita prestasi yang patut kita banggakan.

Dedi Prestiadi
Ketua BEMP KI STAIN Purwokerto
Mahasantri Pesantren Mahasiswa An Najah Purwokerto(//rhs)

Negeri yang Tidak Bersahabat dengan Kedamaian

Jum'at, 8 Oktober 2010 - 16:13 wib

Foto: dok. pribadi

SEJAK revolusi industri di Inggris pada kisaran abad ke-18 dan abad ke-19, kekerasan begitu merebak dalam lingkaran pekerja dan buruh yang tertekan oleh sistem yang begitu mendehumanisasikan mereka. Dampak sosial yang terjadi pada waktu itu begitu mengerikan sampai-sampai mata pun tak mampu untuk menyaksikannya.

Kekerasan atau violence merupakan titik klimaks dari moral suatu masyarakat. Moral masyarakat yang juga ditentukan oleh tingkat intelektualitas dan religi mereka memang begitu amat penting untuk kemudian dijadikan sebagai rujukan dalam mempelajari sifat-sifat manusia. Dalam konteks kekinian, kita perlu untuk memahami bahwa kekerasan timbul dikarenakan oleh kontrol negara melalui peraturannya yang tak mampu untuk menekan kuantitas kekerasan yang hadir di tengah kehidupan bernegara kita.

Bisa kita lihat beberapa produk peraturan yang terdefinisikan ke dalam hukum Islam, pembentukan Komnas perlindungan anak dan wanita, sampai dengan lahirnya civil society yang bergerak di dalam ranah HAM. Semua hal tersebut memang begitu extraordinary untuk kemudian diejawantahkan ke dalam impian kedamaian bangsa ini.

Akan tetapi yang terjadi sangat jelas, perangkat hukum dan organisasi yang sudah dibangun oleh bangsa ini dengan dana yang begitu besar nyatanya belum memberikan pencerahan kepada persoalan kekerasan di bangsa ini. Lagi-lagi bangsa ini hanya dapat beretorika lewat produk hukum yang abstrak untuk diterapkan.

Oleh karena itu, diperlukan sebuah pernyataan yang tegas dari elemen masyarakat untuk dapat menggerakan opini publik kepada nilai-nilai humanisme dan nilai-nilai kedamaian. Perlu ada pemahaman terhadap sejumlah peraturan yang ada di bangsa ini terkait lembaga-lembaga negara yang bergerak di perlindungan HAM. Disamping itu juga perlu ada gerakan yang mampu mengelola masyarakat secara terarah. Dengan hal-hal tersebut, maka kita akan mampu menciptakan persahabatan dengan kedamaian di negeri ini.

M Reza S Zaki
Fakultas Hukum UGM
Kepala Departemen Kastrat Dema Justicia
Ketua DPF KM UGM(//rhs)

Meminimalisasi Kekerasan

Senin, 11 Oktober 2010 - 10:36 wib

Image: corbis.com

SEMAKIN lama, masyarakat semakin brutal dalam menanggapi persoalan. Masalah yang kecil sering dibesar-besarkan sehingga bentrok atau perkelahian sering terjadi.

Saat ini yang sedang marak adalah kekerasan yang dilakukan oleh massa (banyak orang atau sekelompok orang). Perlu dicurigai apa motif di balik kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang ini. Apakah benar kekecewaan kepada suatu lembaga atau ada tindakan provokatif di balik semua ini? Kekerasan yang terjadi sering dipicu oleh dua faktor yaitu etnis dan agama. Hal ini wajar untuk negara demokrasi seperti Indonesia karena kita mempunyai enam agama resmi dan berbagai macam suku bangsa dari Sabang sampai Merauke. Kekerasan yang menyangkut etnis atau agama ini mudah sekali dikompori. Namun kita juga tak dapat menyalahkan masyarakat karena mereka yang bentrok adalah mereka yang berpendidikan rendah.

Adapun beberapa upaya yang dapat dilakukan sebagai solusi masalah kekerasan massa ini di antaranya dengan peningkatan kualitas pendidikan, membuka lapangan pekerjaan, penegakan hukum, dan peran media massa. Pertama, upaya peningkatan aspek pendidikan. Masyarakat Indonesia sedang mengalami patologi sosial yang amat kronis. Bahkan sebagian besar pelajar dan masyarakat kita tercabut dari peradaban ketimuran yang beradab, santun dan beragama. Di samping itu pendidikan yang diberikan hanyalah untuk meningkatkan intelligence quotient (IQ) sementara emotional quotient (EQ) dan spiritual quotient (SQ) tergadai. Oleh sebab itu, eksistensi SQ harus terintegrasi dalam target peningkatan IQ dan EQ siswa.

Dengan menanamkan SQ dan EQ, kita dapat menekan masalah sosial dan masalah-masalah yang timbul di Indonesia. Pendidikan diperlukan bukan hanya untuk menjadikan generasi Indonesia pintar, tetapi yang paling penting adalah untuk menanamkan moral. Kedua, membuka lapangan pekerjaan. Dengan membuka lapangan pekerjaan kemiskinan dapat teratasi. Bila masyarakat kita tidak miskin, pastilah rakyat tidak berpikiran “apapun akan kulakukan demi uang”. Tanpa kita sadari, kemiskinan sering dimanfaatkan oleh elite politik untuk mengadu domba. Ketiga, mendorong penegakan hukum dan peran media massa.Lemahnya penegakan hukum dan pertikaian elite bangsa yang seringkali ditayangkan di media massa menjadi pemicu kekerasan.

Kekecewaan masyarakat juga berasal dari penegakan hukum yang seperti kincir angin. Ke mana angin bertiup, ke situlah arah kincir berputar. Penegakan hukum di negara kita masih sangat lemah. Contohnya saja kasus terpidana korupsi, di mana banyak pidana korupsi yang diberikan grasi dari presiden. Padahal presiden sendiri mengatakan tidak ada ampun untuk korupsi. Teori Kultivasi yang dicetuskan oleh G Gerbner mengatakan bahwa televisi merupakan suatu kekuatan yang secara dominan yang dapat memengaruhi masyarakat modern. Jadi apa yang mereka lihat di televisi, yang cenderung banyak menyajikan acara kekerasan adalah apa yang mereka yakini terjadi juga dalam kehidupan sehari-hari.

Akibatnya, muncullah masyarakat yang memilih melibatkan diri dengan kekerasan dan masyarakat yang apatis dengan kemampuan hukum dan aparat yang ada dalam mengatasi berbagai tindakan kekerasan. Di sinilah peran media massa untuk kontrol sosial dan menanamkan nilai-nilai moral kepada masyarakat. Pada akhirnya, kerja sama dari berbagai pihak sangat dibutuhkan untuk menekan kekerasan massa ini. Baik dari pemerintah, media massa, maupun masyarakat sendiri.(*)

Suci Amelia Harlen
Mahasiswa Jurnalistik Fikom Universitas Padjadjaran(//rhs)

Pentingnya Kearifan Lokal untuk Mereduksi Anarkisme

Pentingnya Kearifan Lokal untuk Mereduksi Anarkisme
Minggu, 10 Oktober 2010 - 08:23 wib

Nofri Hasanudin. (Foto : Dok pribadi)

“Kita kaya dengan kearifan lokal dan ternyata kerukunan beragama selama ini terjaga dengan kearifan lokal itu.” (Atho Mudzhar, Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI)

Belakangan ini, gejolak sosial antarumat beragama cukup menyita perhatian masyarakat Indonesia. Kejadian ini sangat tidak mencerminkan rasa ke-Indonesiaan kita yang dikenal sebagai bangsa majemuk yang ramah tamah dan menjunjung tinggi keharmonian antara satu dengan yang lain.

Nyatanya, gejolak sosial yang terjadi saat ini karena pudarnya kearifan lokal sehingga konflik kecil yang terjadi dapat tumbuh menjadi masalah yang besar yang dapat mengundang anarkisme dan kekerasan.

Dari kutipan di atas, pengertian dari kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka.

Kearifan lokal dalam kehidupan beragama adalah bagaimana pandangan kita dalam beraktivitas untuk saling menghormati dan menghargai pandangan setiap individu untuk memeluk kepercayaan mereka masing-masing tanpa adanya paksaan dan ancaman.

Kearifan lokal ini berimplikasi pada kokohnya hubungan yang lebih harmonis antar umat beragama sehingga kearifan lokal harus dipelihara guna terjalin rasa kesatuan dan persaudaraan antar umat beragama yang berimbas pada kokohnya rasa nasionalisme bangsa.

Ada tiga cara untuk memperkuat kearifan lokal guna memperkuat kerukunan antar umat beragama.

Pertama, menghilangkan sikap prejudis dan stereotipe untuk menjaga harmonisasi antar umat beragama. Sikap tersebut seringkali mengeneralisasi sebagai sebuah penilaian akhir yang tidak dilandasi dengan bukti-bukti terlebih dahulu. Pada masyarakat multikultural sangat mudah tumbuh sikap prejudis dan streotipe. Untuk itu, kita berharap pemerintah khususnya Departemen Agama untuk mengaktifkan Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) sebagai salah satu cara untuk membangun keharmonisan, misalnya dengan mengaktifkan dialog kebudayaan pemuda lintas agama sehingga peran negara disini sebagai fasilitator antar golongan bukan sebagai badan yang memfasilitasi dalam hal fisik saja.

Kedua, yaitu dengan membangun pendidikan multikultural sebagai wahana sentral dalam relasi simbiosis mutualis antar budaya. Pendidikan kebudayaan diberikan sebagai pembinaan generasi muda. Cara ini guna mentransfer ilmu pengetahuan, ketrampilan dan nilai dengan menawarkan alternatif melalui penerapan strategi dan pendidikan yang berbasis keragaman. Tujuannya bukan hanya untuk memahami pelajaran, tetapi untuk meningkatkan kesadaran mereka agar dapat berperilaku humanis, pluralis dan demokratis.

Ketiga, yaitu menanamkan nilai mendahulukan kepentingan bersama dibandingkan kepentingan pribadi dan golongan. Rasa kebersamaan dan kebangsaan akan terpelihara dan terbina dengan baik bila kepentingan bersama lebih didahulukan dibandingkan kepentingan pribadi atau golongan. Nilai-nilai ini sebagai bentuk sikap bangsa yang menjunjung tinggi nilai persatuan dan kesatuan.

Ketiga hal di atas merupakan metode yang ampuh untuk memperkokoh kearifan lokal yang telah pudah demi menjaga kerukunan antar umat beragama sehingga berimplikasi pada kokohnya persatuan dan kesatuan bangsa.

Nofri Hasanudin
Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Indonesia
Peserta PPSDMS Regional 1 Jakarta
(//rhs)