Minggu, 10 Oktober 2010

Mengubah Pikiran Masyarakat mengenai Kekerasan

Kamis, 7 Oktober 2010 - 16:05 wib

SEPANJANG September 2010 ini, tercatat 24 kasus kekerasan terhadap PRT, kasus yang terkuak ini adalah jenis kekerasan berat. Diperkirakan masih banyak kasus-kasus kekerasan ringan lain yang tidak terdeteksi.

Seringnya kekerasan yang terjadi di masyarakat saat ini sangat mengkhawatirkan. Hal ini menjadi indikasi bahwa masyarakat sedang mengalami frustasi sosial. Mulai dari kekerasan intrapersonal sampai yang antaretnis. Hal ini terlihat begitu ironis dan memprihatinkan karena berita kekerasan yang beredar di media global saat ini sedang dihadapi dan dilakukan masyarakat Indonesia yang terkenal ramah, beragama, dan berbudaya.

Menilik konflik yang terjadi di Tarakan, membuat kita khawatir dan was-was karena ditakutkan konflik ini akan menyebar dan meluas apabila tidak dilakukan pengawasan dan upaya-upaya penanggulangan seperti konflik Sampit yang terjadi 10 tahun lalu. Wakil ketua DPR dari PDIP Pramono Anung menilai konflik Tarakan terjadi karena kesenjangan ekonomi. Pemerintah telah bertindak cepat dan tanggap akan konflik ini sehingga sekarang konflik Tarakan sudah mulai reda dan aktivitas sudah mulai berjalan seperti biasanya.

Kekerasan yang menjadi primadona di negeri ini adalah kekerasan dalam rumah tangga khususnya pada wanita. Tercatat mulai 2003 terjadi sebanyak 7.787 kasus dan mengalami peningkatan 180 persen sebesar 14.020 pada 2004. Dan sampai 2007 terdapat 54.425 kasus. Kekerasan ekonomi dalam rumah tangga dan kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan komunitas merupakan jenis kekerasan paling besar yang dialami oleh perempuan.

Jika kita analisa kasus kekerasan ini berdasarkan interaksi sosial yang paling intensif, dapat dipilih kasus KDRTdi dalam rumah tangga, ketegangan maupun konflik merupakan hal yang biasa terjadi. Perselisihan pendapat, perdebatan, pertengkaran, saling mengejek atau bahkan memaki juga lumrah. Tapi kesemuanya itu bukanlah serta merta disebut sebagai kekerasan dalam rumah tangga. Biasanya kekerasan dalam rumah tangga lebih ekstrim—seperti yang biasa diadegankan di sinetron-sinetron di televisi. Pelaku kekerasan memiliki kekuasaan yang lebih besar dari berbagai segi, seperti dari segi fisik, segi ekonomi, dan atau segi status sosial dalam keluarga.

Jika dilacak sebab-sebab kekerasan yang dilakukan oleh pelakunya—biasanya sang istrilah yang menjadi korban. Pertama, adanya fakta bahwa laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat. Kita telah ter-mindset bahwa lelaki berkuasa atas perempuan.

Kedua, kebudayaan kita mendorong perempuan atau istri supaya bergantung kepada suami, khususnya secara ekonomi. Hal ini membuat perempuan hampir sepenuhnya berada di bawah kuasa suami dan suami merasa berkuasa secara ekonomi khususnya.

Ketiga, masyarakat tidak menganggap KDRT sebagai persoalan sosial, tetapi persoalan pribadi suami-istri sehingga orang lain tidak boleh ikut campur. Masyarakat menganggap masalah ini sebagai masalah pribadi atau rumah tangga yang orang lain tidak layak mencampurinya

Ternyata penderitaan akibat penganiayaan dalam rumah tangga tidak terbatas kepada sang istri saja, tetapi juga menimpa anak-anak. Bagaimana bisa? Anak-anak bisa mengalami penganiayaan secara langsung atau merasakan penderitaan akibat menyaksikan penganiayaan yang dialami ibunya. Menyaksikan kekerasan merupakan pengalaman yang sangat traumatis bagi anak-anak. Mereka sering kali ketakutan dan tidak mampu berbuat sesuatu ketika sang ayah menyiksa ibunya. Hal ini ternyata berakibat sangat fatal pada perkembangan kejiwaan anak-anak. Mereka akan merasa gelisah, gugup, cemas, dan lain-lain.

Berdasarkan deklarasi penghapusan kekerasan terhadap perempuan, negara berkewajiban melindungi warganya dari serangan kekerasan, baik di lingkup publik maupun di di dalam rumah tangga. Untuk itu dipelukan jaminan hukum maupun sarana rehabilitasi guna mengatasi persoalan kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu peluang pemenuhan hak korban harus dibuka lebar dan kapasitas masyarakat dalam menyikapi kekerasan dalam rumah tangga harus diperkuat.

Febry Nanda Saputra
Mahasiswa Jurusan Statistika FMIPA
Institut Pertanian Bogor(//rhs)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar