Kamis, 23 September 2010

Puisi-Puisi Kuspriyanto Namma

TELAGA

Di tempat seasing ini kudapatkan telaga
milik siapa ketenangan air yang jernih
sedang aku jadi malu seusai membuat kecipak
lalu duduk saja memandang cemara-cemara
yang berbaris membentuk bayangan raksasa yang lelap
oleh belaian angin bukit
Sebaiknya engkau datang kemari di saat pagi
saat ikan-ikan bermain dengan pucuk-pucuk ombak
tapi jangan membawa kail itu akan membunuh cacing
daerah ini suci dan merdeka
belum pernah ketumpahan darah, setetes pun
Kalau ingin ikan-ikan datang berkumpul
cukup dengan menyanyi, kau telah pula memanggil
murai, kutut, podang, tilang, jalak, dan emprit
yang membangun sarang di tengah telaga
semakin jelaslah kedamaian dan rasa bersama
berada jauh dari pusat kota
SARANGAN
Telaga itu masih seperti dahulu
jalan melingkar, kabut, cemara-cemara yang berisik
cipak ikan, kicau burung, dan angsa berenang
ketenangan ombaknya sesekali dipecahkan gerak sampan
Telaga itu masih seperti dahulu
pasangan demi pasangan lenyap di balik awan
ringkik kuda, dan pekik kagum para pengunjung
kalau ada yang berubah, kedatanganku tak lagi bersamamu

ELEGI ANGSA

Angsa yang mati kutembak semalam
subuh tadi kembali terbang mengisi awan
paruhnya bagai pedang
memotong sepotong rembulan di puncak bintang
Menatap ketinggian aku melihat gambar-gambar langit
ada gunung, ada pohon dan sarang-sarang
juga laut yang menari bersama
angsa yag mati kutembak semalam

METAMORFOSA

Hujan telah turun tapi engkau malah lenyap dari pandangan
selalu tak kau takut petir yang menyambar-nyambar
kemarin engkau bilang hendak menangkap capung
yang terjun dalam tidurmu
tapi ini bukan musim capung atau kupu-kupu
bahkan bunga-bunga yang kau tanam di pinggir telaga
belum juga mekar
seharusnya kau tidak berlari menembus kabut seorang diri
siapa tahu di belakang itu bersembunyi singa
atau serigala
yang langsung menerkammu ketika kau tak terjaga
Hujan belum reda, dan aku berniat mencarimu dalam hujan
namun tiba-tiba engkau muncul dari balik kabut
membawa seekor singa dan beberapa serigala
aku diam pesona, tak sanggup menatap tapi tak buta

KABUT

Begitu matahari muncul, kabut akan turun
perlahan-lahan
mengepung pepohonan memenuhi lembah dan hutan
kerbau-sapi melenguh kedinginan
Begitu kabut muncul, gunung tinggi menjulang
akan lenyap sekejapan
tak ada lagi sisa-sisa kegagahan
selain suara tilang dan podang yang bertindihan

MITOS

Kutut yang kau tangkap di pinggir hutan
sungguh menyenangkan
bulunya lembut, matanya redup
tak bosan-bosan kupandang penuh kekaguman
Kutut yang kutangkap di pinggir hutan
malam tadi menjelma ular
kulitnya putih-hitam berkilat menakutkan
lepas dari kurungan

POHON PISANG

Selama belum memberi buah
pohon pisang tak akan mati ditebang
kemuliaan seperti itu siapakah yang mewarisinya
pohon jambu atau pohon mangga
Walau matahari membakar kemarau panjang
dan penghujan melahirkan banjir bandang
selama belum memberi buah
pohon pisang tak akan mati ditebang

*) Kuspriyanto Namma, penyair kelahiran Ngawi, 30 Oktober 1965, guru bahasa Indonesia MAN Ngawi, dan pendiri Teater Magnit Ngawi

Puisi-Puisi Aming Aminoedhin

Aku Masih Melihat

catatan ramadhan 1431-h
aku masih melihat
orang-orang melangkah ke masjid
selepas magrib jelang isya tiba
berharap bisa tarawih dengan berjamaah
aku masih melihat
orang-orang melangkah ke mal dan plasa
melepas duit jelang hari raya
agar lebaran tampak gagah lupa hati pongah
aku masih melihat
mal dan plasa berjuta orang
mengigau berjamaah, hamburkan uang
tanpa pernah dirasa atau merasa
ada berjuta orang di luar sana
atau mungkin di sekitar kita
teramat miskin papa
aku masih melihat
jurang menganga
begitu dalam tak terjangkau
dari matabatin orang-orang mengigau
aku masih melihat
berjuta orang meracau dan mengigau
di negeriku yang kacau
Canggu, 19 Agustus 2010
Matematika Lailatul Qodar
pakar matematika pernah berhitung
jika seribu bulan
adalah 83 tahun lebih umurnya
sedang usia manusia
tak lebihi angka sejumlah itu
maka bersujud dan beramallah
pada saat lailatul qodar
hingga impaslah segala dosamu
dibayar oleh sujud-amalan
di malam qodar itu
aku termangu (mungkin ragu)
lantas kita semua terjaga
apa benar begitu?
Canggu, 19/8/2010

Dentang Suara

dentang suara benar itu tak selamanya enak didengar. hari-hari biasa kau bisa diburu langkahmu. hanya lantaran suara kebenaran yang kau kicaukan terasa sesakkan dada penguasa
dentang suara yang kaunyanyikan bukan lagu merdu bagi penguasa
langkahmu hari ini bisa terhenti. tapi berjuta politisi jalankan kembali langkahmu, yang kian mengarah suara benar tak enak didengar itu
dentang suaramu mendedah bagi penguasa berhati pongah (mungkin serakah) dalam hidup ini. mengalah bukan kalah, saudaraku
tapi kau semakin tak peduli. bahkan mungkin rakyat
juga kian ingin bukti kebenaran itu terungkap
dentang suaramu memang tak enak didengar
tapi benar yang kau tebar akan jadi bukti
nyanyian kau lantunkan adalah kebenaran
tak terbantahkan. tak terbantahkan!
Desaku Canggu, 13/4/2010

Peluit Itu Jadi Nyanyian

peluit kau tiup ketika para penguasa butuh atap tertutup
telah memporakporandakan negeri ini
peluit yang kau tiup bagai nyanyian indah tak terbantah
telah membelalakkan mata rakyat tak percaya
dunia memang telah jungkirbalik
polisi menangkap maling, dan malingnya
berbalik tangkap polisi
peluit itu terus bernyanyi, bagai peluit keretaapi
setiap stasiun berbunyi. setiap pejabat korup
peluit berbunyi. suara peluitmu, jadi hantu
bagi setiap pejabat korup jadi takut
adakah pada dirinya akan juga bernyanyi?
peluit kau tiup ketika para penguasa butuh atap tertutup
telah memporakporandakan negeri ini
peluit yang kau tiup bagai nyanyian indah tak terbantah
telah membelalakkan mata rakyat tak percaya
ternyata masih ada juga manusia berhati mulia
semulia nyanyian peluitmu terus memburu
para koruptor itu
Desaku Canggu, 13/4/2010

Telah Tamat

sp
persetan amat. semua telah tamat
hari berlalu beku. tawar tanpa makna
helatan kau tawarkan basi. tanpa makna arti
sebab segala acara, hanya bersandar pada takar harta
bukan getar jiwa. puisi adalah getar jiwa
bukan harga takar uang kau punya. bukan!
puisi berwarna dasar hati suci mewangi, sedang kau
coba tawarkan otak keledai berbungkus bangkai
busuk dan masai!
aku tak tahu ada juga ikut barisan itu
beriring-iringan bagai keledai nan bodoh
mengangkut berkarung kesalahan tak senonoh
tapi mereka tak paham, terus berjalan
ke mana arah dilangkahkan?
persetan amat. semua telah tamat
hari berlalu beku. tawar tanpa makna
gedung itu bisu. kau kian tambah bisu
hati kelu menimbun beribu-ribu, dan
barisan mereka hanya bilang setuju!
Sidoarjo, 8/6/2010

*) Aming Aminoedhin, staf Balai Bahasa Surabaya, penggagas malam sastra Surabaya (malsasa). Tinggal di Mojokerto

Rabu, 22 September 2010

PUISI2 DIAN HARTATI

Puisi-Puisi Dian Hartati

Savasana

semesta melingkar
aroma laut, panas, getah, daun
pusaran
melawan gravitasi
aku meninggalkan raga
kau menarik benang kenangan
''jangan tidur,'' bisikmu
aku melancong
meluruskan punggung
kaki
berjalan
aku melayang
meniadakan dirimu
melupa pekerjaan
menghirup malam
gelap
dan getah terus menetes
berusaha menyalakan
menumbuhkan cahaya
waktu tak pernah berhenti
saling menarik
semesta membuka dimensi
melangkahkan kaki
keluar dari
lingkaran
SudutBumi, 2010

---

Para Penghela

-1-
duduklah dengan nyaman
sesekali atur napas agar tak tegang kendalimu
di atas sana
matahari semakin mengurut keringat
memecah batubatu
jadi kerikil di aspal jalanan
susuri setapak ini
bernapaslah dengan lapang
suarasuara akan membawamu ke masa silam
tempat para kesatria bertarung
tak hiraukan darah
memercik
teruslah menyusuri
jika letih datang padamu
tinggalkan kota
bersama ruh, jejak itu hilang
bungkam

-2-
pagi betapa sunyi
perjalanan hanya menyisakan peluh
lingkaran ini semakin menyudutkan
teruslah berputar
hingga titik dijumpai
pertemuan semakin menyata
tak ada istirah
karena waktu tidak pernah berhenti
terus bergerak
mundur

-3-
kukuhkan badanmu
kuatkan setiap pijakan
hatihati
salah memikat, kau terinjak
inilah ruang yang dihuni
setiap perkataan akan jadi teriak
bisikan akan merapuhkan pandangan
matahari benarbenar tumbuh di dadamu
sekuat arus yang kau lawan
tinggalkan kota
sebab gemuruh bangkitkan petaka
redup
ditingkah bayangbayang

-4-
turunlah
kau telah tiba
SudutBumi, 2010

---

Pepasir

berjalan pada pasirmu
aku merindukan sesuatu yang berteriak
: suaraku
segala yang tak pernah kutemukan
tibatiba membuatku tercekat
laut merajah
angin menikam
dan ombak mengurungku dalam keterasingan
berjalan pada pasirmu
aku menemukan muara
tempat air mata menyusun cerita
akhirnya
lekat pasir itu mampu membutakan aku
menghardik kulit yang terbenam
meminang cercah cakrawala
SudutBumi, 2009

---

Mencatat Jarak (1)

kembali
stasiun mengantarkan ragamu
menjadikan rindu sebagai luka
jarak kian menjarak
senja selalu menjadi malam
adakah dirimu resah
di gerbonggerbong penuh karat
SudutBumi, 2010

---

Mencatat Jarak (2)
perpisahan
menjadikan waktu batu
angin bungkam
dan purnama yang pernah kita lihat hanya jadi keluhan
aku mencatat beberapa peristiwa
untuk dikenangkan
saat perjumpaan tiba
aku mencatat berapa jarak terhampar
tak pernah pasti
SudutBumi, 2010

---
DIAN HARTATI, lahir di Bandung, 13 Desember 1983. Menyukai jalan-jalan dan menenggelamkan diri dalam perjalanan kata-kata. Bergiat di dunia kepenulisan sejak 2002. Setelah lulus dari Universitas Pendidikan Indonesia, jurusan bahasa dan sastra Indonesia, tetap berproses menulis dan mengelola blog www.sudutbumi.wordpress.com.

PUISI2 HAMDY SALAD

Puisi-Puisi Hamdy Salad

BULAN MELAYANG

Guyur aku dengan darah panasmu
dan biarkan kompor gas itu menyala
mematangkan butiran beras
daging cinta dan urat-urat biru
sekujur tubuhku. Bulan melayang
lepas cahaya dari ikatan malam
menyusup tanganmu ke dalam dada
memeras pahit empedu
dekat jantungku. Luka pun berbunga
menari-nari di ujung tangkai
tegak berdiri menghunjam tanah
saat langit menggambar wajahmu
dan bumi bersinar di telapak kakiku
Duhai penjaga asmara yang setia
kibarkan tujuhpuluh sayapmu
agar aku bisa terbang kembali
menempuh rindu tanpa nafsu bidadari
(2010)

MIMPI BERJALAN

Di atas gelombang samuderaku
mimpi-mimpi berjalan tanpa kaki
menolak dandan pengantin baru
melepas jubah dan pakaian
bagai perahu sedang berlabuh
pulang dan pergi ke tepi pantai
mencari pangkal segala ruh
di antara topan dan badai
Separuh bayang-bayang meregang
dan melenguh di sisi ranjang
suntuk jiwaku dalam dekapan
harum lempung dadamu
kuhirup sampai hilang purnama
di antara kekalahan dan kemenangan
di antara kehidupan dan kematian
Suara sembilu bertalu-talu di udara
membawa pergi semua yang terluka
(2010)

BINTANG PAGI

Bintang pagi wajahmu
masih juga berseri di langit itu
walau fajar telah merekah
dan bumi berdarah-darah
Tapi entah, kapan aku bisa bertemu
dekap erat kilau tubuhmu
sepanjang mimpi yang diberkahi
Angin lalu menggulung kesepian
dingin matamu menjelma jam tangan
Bau rindu menyengat pernafasanku
(2010)

TAK MATI-MATI

Kenapa cinta itu tak mati-mati
di sini, di lambung kosong ini
terus menari bersama usus duabelas jari
mengaduk biji-biji cabe dan tomat merah
sampai duka kembali ke rahim sunyi
dan pohon berbuah di dalam rumah
mengusap airmata doa
mengucap doa airmata
tepati janji di ujung sajadah
Sebilah pisau berkilat dari pinggangmu
tapi darahku telah mengalir lebih dahulu
melukis resahmu di empat penjuru
(2010)

KUPU-KUPU TERBANG

Kupu-kupu terbang sendirian
mencari jejakmu yang berbunga
di atas pundak batu karang
kala cermin membuka kelambu
rahasia ombak dan gelombang
Lalu usia menumbuk waktu
hingga pasir dan debu bersinar
di tepi lautmu. Masa lalu kelaparan
meminta dagingku jadi cincangan
saat senja mulai bertandang
menabuh dadaku bagai genderang
Maka itu kasihku, medekatlah!
peluk jiwaku dalam selimutmu
jangan tinggalkan aku sendirian
jangan biarkan aku kebingungan
(2010)

---
Hamdy Salad, dosen Creative Writing Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta. Menerbitkan kumpulan puisi: Sebutir Debu Di Tepi Jurang (2004), Rubaiyyat Sebiji Sawi (2004), Sajadah di Pipi Mawar (2005), Mahar Cinta Bagi Kekasih (2005), Dzikir Logam (Dami, 2009).